Mang Dina Mara Salah Satu Pendongeng Sunda Yg Masih aktif Sampai kini
Baca Juga Dongeng sunda JAWARA LIMA
Saat sukabumiupdate.com, menyambangi kediamannya di Cipelang Leutik, pada usianya yang sudah 63 tahun, tak menjadikan Mang Dina kehilangan energi. Badannya masih tegap, gagah dan awet muda, sama seperti ketika sepuluh tahun yang lalu, ia masih terlihat aktif dengan berbagai kesibukannya di antaranya mendongeng dan mendatangi undangan ceramah keagamaan di berbagai tempat.
“Dalam dongeng Sunda itu, walaupun cuma karangan ada filosofi hidup, ada proses penyampaian pesan moral ke pendengar, ada unsur kepahlawanan yang Ki Leuksa atau K. Sukarna (pengarang cerita) sisipkan, sok geura emut-emut masih inget teu carita Bah Lemud, Si Ronyok, Si Riweuh?” Jelas Mang Dina Mara sambil bertanya.
“Kebetulan hari ini sedang tidak ada jadwal jadi khotib, jadi santai saja sampai menjelang Jumatan kita ngobrol-ngobrol. Pendengar carita Sunda di zaman sekarang sudah banyak berkurang, apa lagi hanya berada di tataran daerah, sulit berkembang” Mang Dina melanjutkan obrolan bersahajanya dengan santai.
Ia menuturkan, kemajuan zaman dan kemajuan teknologi telah menyita perhatian masyarakat misalnya infiltrasi TV, mampu mengalihkan pandangan kita dari sedang membaca buku beralih ke berita infotainment. Tayangan stasiun televisi yang beragam secara visual, pada akhirnya lebih menarik perhatian.
Mang Dina menekuni profesinya sebagai pendongeng sejak Juli 1976. “Sebetulnya saya berangkat dari profesi penyiar, kalau dulu saya penyiar juga, mendongeng juga, tapi kan sekarang harus bagi-bagi jatah biar yang lain kebagian,” seloroh Mang Dina.
Ia juga mengatakan, ada tanggung jawab moral dalam upaya melestarikan bahasa Sunda yang kini mulai jarang digunakan oleh sebagian masyarakat Sunda itu sendiri, bahkan Mang Dina berharap ada regenerasi yang bisa melanjutkan keberadaan para pendongeng Sunda yang kini jumlahnya tinggal hitungan jari.
Di Sukabumi pernah tercatat nama-nama pendongeng selain Mang Dina dan Mang Dedi seperti Mang Komar. Di Tataran Pasundan secara keseluruhan ada nama-nama pendongeng Sunda lainnya yang cukup beken seperti Mang Jaya, Wa Kepoh, Jamar (lebih ke monolog Humor, mirip stand up comedy), dan lain-lain.
“Sebetulnya saya sudah jemu mendongeng tapi susah nang cari gantinya, siapa yang mau meneruskan jadi pendongeng Sunda? Pernah ada yang ingin belajar dan datang ke saya, saya sodorin buku ceritanya dia nggak sanggup bacanya. Mungkin karena tulisan bahasa Sunda, walaupun dengan huruf latin bagi yang tidak terbiasa membaca akan sulit. Terutama membedakan baca huruf E dan E bunyinya lain, ada EU,” Ia menjelaskan.Sulitnya lagi pendongeng harus hafal berpuluh-puluh karakter suara dalam cerita dan tidak boleh tertukar, kemudian intonasi, penghayatan dan pergantian suara dari satu tokoh ke tokoh lain perlu kemampuan yang tidak biasa.
Namun, meskipun demikian, di tengah gempuran perubahan yang semakin canggih dengan berbagai pilihan, dongeng Sunda masih memiliki penggemar setia. Mereka yang lahir di tahun 70-an dan 80-an, sesekali masih menanti dan mencari-cari frekuensi radio untuk mendengarkan story telling mengenai cerita Dedemit Gunung Warangas karya Ki Leuksa, Ngadu Jago (Ki Leuksa), Si Buraong (K.Sukarna), Den Kelana (K.Sukarna), Galura Laut Kidul (Ki Leuksa), Si Kulup dan lain-lain.
Namun, sampai kapankah dongeng Sunda akan bertahan di tengah gempuran zaman dan tanpa regenerasi pendongeng, tanpa penikmat, dan tanpa perhatian berbagai pihak?